
Pada suatu petang yang sendu seekor anak kerang di dasar laut datang mengadu dan mengaduh kepada ibunya. Sebutir pasir tajam bagai sembilu, memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.
”Anakku,” kata sang ibu sambil mencucurkan air mata, ”Tuhan tidak akan memberikan kepada kita sebuah tanganpun, sehingga ibu tidak bisa menolongmu. Sakit sekali, ibu tahu anakku. Namun terimalah ini sebagai takdir alam. Jadi, kuatkanlah hatimu, Nak. Jangan lagi terlalu lincah. Kerahkan semangatmu untuk melawan rasa ngilu itu. Tegarkan jiwamu untuk menanggung nyeriyang mengigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang dapat engkau perbuat anakku,” bujuk ibunya dengan lembut namun pilu.
Si anak kerang itu pun mencoba menuruti nasehat bundanya. Ada hasilnya memang, namun perih-pedih tak alang kepalang. Kadang di tengah erang kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Namun, tidak ada pilihan lain. Ia terus bertahan. Dan dengan banyak air mata ia berusaha tegar, mengukuhkan hati, menguatkan jiwa, berbulan-bulan lamanya.
Tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk di dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Kian lama kian bulat. Dan rasa sakitpun semakin berkurang. Mutiara itu pun semakin menjadi. Kini, bahkan rasa sakitnyapun terasa biasa. Dan ketika masanya tiba, sebutir mutiara besar utuh, dan mengkilap akhirnya terbentuk sempurna.
Si anak kerang berhasil mengubah pasir menjadi mutiara. Deritanya berubah menjadi mahkota kemuliaan. Air matanya kini menjadi harta yang sangat berharga. Dirinya sekarang, sebagai bentukan nestapa, lebih berharga daripada sejuta kerang lainnya yang Cuma disantap orang di bawah naungan tenda-tenda di pinggir jalan yang bertuliskan ”Sedia Kerang Rebus”. Kristal kekecewaanya kini telah menjadi perhiasan mahal dan bergengsi tinggi di leher-leher indah para perempuan kaya yang menambah kejelitaan mereka.
Dari kisah anak kerang tersebut saya teringat kembali pada suatu masa, ketika saya masih belajar di suatu universitas, masa dimana saya mengalami saat-saat yang sunyi, buntu dan dicekam rasa takut tanpa tahu sebabnya serta sering terjaga di tengah malam dengan air mata dan dipenuhi dengan banyak pertanyan tak terjawab. Suatu masa, ketika saya harus mencari pekerjaan setelah menyelesaikan pendidikan S1 tahun 2005 yang silam, dimana saya menghadapi banyak kegagalan, kekecewaan, kekalahan, kemalangan, kesalahan, kerugian, dan ditolak. Pada saat saya awal bekerja pun pada akhir tahun 2006, cemoohan dan penghinaan pun masih menemani langkah saya. Bahkan pada saat ini, saya pun masih mempersiapkan diri untuk menderita lebih lanjut.
Pesan moral yang dapat kita peroleh adalah kita seharusnya bersyukur melalui kekecewaan dan penderitaan karena dengan serangkaian penderitaan dan kekecewaan tersebut kita akan semakin dibentuk menjadi orang yang luar biasa. Jadi, apabila anda sedang menderita hari ini, apapun jenisnya, apapun sebabnya, bagaimanapun beratnya, hanya satu hal yang dapat dilakukan Bertahanlah ! Endure it and then take it !